STRUKTUR PENGALAMAN DAN BERAGAMA DALAM
BERFILSAFAT
Jumat, 30 Oktober 2015
Refleksi pertemuan keenam
Oleh: Vivi Nurvitasari
15701251012
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Petemuan kuliah Filsafat Ilmu yang
dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2015 jam 07.30 sampai dengan 09.10 diruang
306A gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Pak Marsigit,
Perkuliahan ini diawali dengan tes jawab cepat sebanyak 50 soal lalu
dilanjutkan dengan mahasiswa mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang nantinya
akan dijawab oleh Pak Marsigit.
Sistem pertemuan pada minggu ini sama
dengan pertemuan sebelumnya yaitu adanya tes jawab cepat diawal kuliah, hanya
saja tema tes kali ini adalah Menembus Ruang dan Waktu. Tes jawab cepat yang
diberikan Pak Marsigit ini sudah ada dalam postingan-postingan Bapak diblog Pak
Marsigit. Sehingga untuk bisa menjawab tes ini, mahasiswa diharapkan rajin membaca
dan memperbanyak membaca postingan diblog Pak Marsigit.
Pertanyaan
pertama setelah Pak Marsigit dan para mahasiswa selesai mengoreksi soal tes jawab
cepat ialah pertanyaan dari Lia Agustina: “Bagaimana cara filsafat
memandang sebuah pengalaman dan penting atau tidak suatu pengalaman itu kita
miliki untuk masa depan kita nantinya?”
Pak
Marsigit pun mulai menjawab pertanyaan pertama tersebut: “Semua pertanyaan
sudah ada jawaban di dalam postingan saya, tapi dalam pertemuan ini sengaja
mendorong mahasiswa supaya mempunyai kemandirian untuk bertanya, karena awal dari
ilmu pengetahuan itu adalah dari bertanya. Pertanyaan Sdri. Lia itu bagus karena
bisa mentrigger munculnya ide-ide tentang masalah pengalaman, sedikit saya
bercerita bahwa kita memandang dari 1 sisi karena memang sifat manusia itu tidak
sempurna dan karena ketidaksempurnaan itulah kita bisa merasakan hidup ini,
diberi saja 1 sifat yang sempurna maka engkau tidak akan bisa hidup, itu
hebatnya Tuhan. Tuhan yang memberi kehidupan pada manusia dengan cara
ketidaksempurnaan, diberi kesempurnaan untuk mendengar, misalnya dapat mendengar
yang ada dan yang mungkin ada, mendengar suara yang ada dineraka dan semua yang
ada, kesempurnaan untuk juga akan lebih menakutkan, itu hnya 1 sifat saja
tetapi manusia memiliki bermilyar-milyar sifat, kesempurnaan berbicara secara
pararel, yaitu kita tidak mengerti maksudnya antara yang 1 dengan yang lain. Pengalaman
itu separuh dunia, membangun pengetahuan itu yang separuhnya adalah
pengalaman, separuhnya yang diatas itu adalah
logika, maka berfilsafat itu mempraktekkan pikiran anda dan pikirkanlah pengalaman
anda, maka dinamik itu setiap hari, karena sebenar-benar hidup adalah interaksi
antara pikiran dan pengalaman, karena ini olah pikir maka kita bisa praktek,
prakteknya di laboratorium. Prakteknya dengan cara kita hidup hanya dengan
pengalaman saja, kita ekstrimkan supaya kelihatan, tapi juga kita praktekkan hidup
hanya dengan pikiran saja, misalkan seorang dokter yang melayani kesehatan lewat
radio. Dokter menanyakan keluhan yang dirasakan pasien lewat radio, lalu si
pasien menyebutkan keluhan yang dirasakannya kepada dokter, si dokter langsung
menyuruh si pasien untuk meminum obat yang sesuai dengan keluhan yang dirasakan
si pasien, maka si dokter tersebut menggunakan metode analitik apriori yang
merupakan pikiran. Apriopri bisa memikirkan walaupun tidak melihat keadaan pasien,
hanya dari pengetahuan si dokter jikalau keluhan ini begini, kalau keluhan itu
begitu, itu apabila dokter tersebut menggunakan analitik apriori, tapi sebaliknya
seorang dokter hewan yang memeriksa sapi yang sedang sakit, maka dokter hewan tidak
bisa bertanya pada si sapi secara langsung tetapi dokter hewan dapat memegang
badan sapi tersebut barulah dokter mengetahui sakitnya si sapi itu dengan cara
memegang dan memikirkannya, dokter tersebut menggunakan metode sintetik
aposteriori, yaitu kehidupan pengalaman,
bahwa yang diatas naik keatas cenderung konsisten, dinaikkan lagi menjadi
spiritual, dinaikkan lagi nilai kebenarannya tunggal atau disebut monoisme
yaitu Kuasa Tuhan, kalau diturunkan kebawah sintetik apriori, dunianya dunia
kontradiksi yang ada di hidup ini, jangankan
engkau, aku yang tadi saja berbeda dari aku yang sekarang itu sintetik aposteriori.
Maka Immanuel Kant berusaha mendamaikan antara langit dan bumi, langitnya itu
konsisten karena para dewa itu konsisten tidak mempunyai kesalahan, engkau itu
tidak punya kesalahan didepan adekmu, maka saya begitu datang lalu duduk juga tidak
mempunyai kesalahan jika mau duduk dimana saja, tapi jika mahasiswa yang duduk
didepan dan membelakangi saya maka langsung saja dikatakan bahwa mahasiswa itu
bersalah, karena semakin tinggi semakin kecil kontradiksi, dan sebenar-benarnya
tidak ada kontradiksi, yang absolut adalah Tuhan. Semakin turun semakin besar
kontrakdiksi, maka kontradiksi itu ada pada predikatnya, ketua itu melihat
anggotanya penuh dengan kesalahan, tapi anggota melihat ketua itu tidak pernah
salah, begitu juga dengan dekan, rektor, gubernur memandangnya seperti itu, sehingga
didamaikan yang diatas, yang didunia langit oleh Immanuel Kant diambil
apriorinya, dikawinkan dengan yang dibawah, pengalaman oleh Immanuel Kant
diambil sintetiknya, jadi sebenar-benarnya ilmu menurut Immanuel Kant adalah
sintetik apriori, ilmumu akan lengkap akan kokoh kalau bersifat sintetitk
apriori, tidak main-main itu, jadi orang matematika murni tidak begitu bahagia
karena Immanuel Kant karena dikatakan bukan sebagai ilmu kalau hanya matematika
murni begitu saja, kalau mathematic is for
mathematic , kalau untuk seni maka art
is for art, bahwa seni hanya untuk seni tidak untuk masyarakat yaitu
berarti separuh dunia saja, oleh karena itu ada metode scientific, ,metode scientific yang dicobakan itu sintetik, jika
disimpulkan itu apriori, sifatnya pengetahuan yang didalam pikiran itu
analitik, ukuran kebenarannya adalah konsistensi sedangkan ukuran sifat daripada
pengetahuan pengalaman adalah sintetik, kemudian diabel bersifat kontradiksi
maka dengan kontradiksilah akan muncul produk baru, jadi kalau hanya identitas
saja itu sifat malaikat, imannya tetap menurut para kyai tidak naik tidak turun
tetapi karena manusia itu dibumi dan bersifat sintetik, imannya itu naik turun,
misalkan tanggal muda imannya naik, tanggal tua imannya turun tapi ada juga tanggal
muda imannya turun (karena berfoya-foya) dan tanggal tua imannya naik karena
memohon dan bertobat karena uangnya sudah habis. Itu hanya salah 1 sifat yang
menonjol di dalam dunia pikiran yang lain masih banyak, sudah ketemu sebetulnya
filsafat itu dari awal sampai akhir akan begitu saja, yang diatas bila ditarik
kebelakang akan selaras dengan hal-hal yang ada didalam pikiran maka matematika
murni itu obyeknya adalah benda pikir, benda pikir itu terbebas oleh ruang dan
wktu, walaupun siang hari saya bisa membayangkan malam walaupun dalam pikiran,
walapuun jauh saya bisa membayangkan yang dekat sekali, menerobos ruang maka
terbebas dari ruang dan wktu, itulah dunia pikiran bersifat ideal, tetap menuju
kesempurnaan, maka itu akan tersapu habis semua tokoh sampai diujung Yunani
sana, tokoh-tokoh filsafat yang chemistry yang berchemistry dengan ide-ide yang
ada dalam pikiran mulai dari yang absolutisme, mulai dari yang bersifat tetap
(permenides), mulai rasionalisme (tokohnya Rene Descartes), perfectioniseme dan
seterusnya. Tapi itu adalah dunia
transenden semakin keatas semakin transenden, beyond dunianya para dewa, engkau
tidak mengerti banyak tentang kehidupan pak rektor, dari sisi akademik pun karena
itu beyond, transenden untuk anda. Engkau juga tidak mengerti banyak kehidupan
kakakmu, maka semua filsuf yang berchemistry dengan semua beyond itu termasuk
golongan langit ini diatas garis ini, langit sana terus kesana keatas, turun ke
bumi, biasanya orang-orang tersebut menganggap ini termasuk filsafat, ilmu-ilmu
filsafat juga spiritual, ilmunya para dewa, tapi kita menjumpai uniknya dan hebatnya,
bersyukurnya dunia pendidikan itu karena kita mengelola, berjumpa, berinteraksi
dengan anak kecil, anak kecil itu memiliki dunia bawah, dunia diluar pikiran,
dunia konkret, dunia pengalaman, jadi
ilmu bagi anak kecil bukanlah ilmu yang dimiliki orang dewasa, jadi mathematic
is a sains itu untuk orang dewasa, art
is for art itu untuk orang dewasa, jadi seni hanya untuk dipandang itu
medium tapi untuk anak kecil, kalau misal pameran pesertanya adalah anak kecil maka
boleh saja tapi juga harus boleh dipegang-pegang, anak kecil sudah diperbolehkan
masuk tapi dilarang untuk memegang itu adalah kontradiksi, pameran patung
pesertanya adalah anak kecil maka persiapkan patung yang boleh dinaiki, karena
itu adalah dunianya anak, karena hakekat ilmu bagi anak itu adalah aktivitas, mathematic is an activity untuk
anak-anak itu, jadi seninya untuk anak kecil itu juga aktivitas, silahkan ambil
kanvas lalu coret-coret itulah melukis seninya anak kecil, jangan seni menurut
Plato adalah ini itu, seni menurut Socrates adalah ini itu, itu kan sudah
merefleksikan seninya para dewa, atip bukan seperti itu seni untuk anak kecil,
itu hanya untuk guru-guru yang konyol atau para orang dewasa yang konyol,
anak-anak SMP belajar sejarah Pangeran Diponegoro
belajar dari buku, padahal sebelahnya museum diponegoro itu karena kontradiksi karena
adanya Unas itu sendiri, disuruh memilih benar dan salah (soal pilihan ganda),
jadi apa relevansinya pergi ke museum diponegoro dengan soal pilihan ganda? Jadi
dengan cara Unas yang berupa soal pilihan ganda itu intuisinya anak kecil itu akan
tercerabut untuk berperilaku secara instan dan tidak sehat masuk kedunianya
orang dewasa, itulah dunia pendidikan kita itu seperti itu, itulah perjuangan
kita bagaimana visi yang mulia bagi seorang pendidik adalah bisa melindungi
anak didiknya dari kesemena-menaan metode mendidik yang tidak paham, medidik
itu bukan ambisi supaya muridku seperti saya itu tidak begitu sesungguhnya,
contohnya Pak Marsigit tidak mengharapkan mahasiswanya menjadi seperti Pak Marsigit
karena itu akan membuat bingung, karena Pak Marsigit akan punya banyak kembaran,
dan pemerintah juga mungkin bingung akan membayar siapa, karena Pak Marsigit
itu ada banyak. Silahkan jadilah dirimu sendiri, disini tidak ada cara
menuangkan filsafat, fungsi guru adalah memfasilitasi, guru sebagai
fasilitator, jadi kurang apa saya sudah memberikan fasilitas bacaan didalam
blog sebanyak 600 postingan, yang senantiasa bertambah secara alami saja tidak
dirancang, pokoknya kita bekerja dengan prinsip ada, mengada dan pengada,
adanya itu adalah potensinya, mengada itu adalah ikhtiarnya, pengada itu adalah
produknya, jadi engkau dikatakan sebenar-benarnya ada itu karena adanya 3
komponen yaitu ada, mengada dan pengada, mahasiswa yang tidak pernh belajar
maka adanya mahasiswa ada yang tidak sebenar-benarnya ada, itu namanya ada yang
palsu, di Indonesia penyakit palsu itu merajalela, korupsi itu merupakan penyakit
palsu, memalsukan ijazah, plagiarism karya ilmiah apalagi, dst. Jadi pertanyaan
Sdri. Lia cukup mengundang hal-hal yang seperti itu terus dampaknya semakin
kesini kalau ini berkembang terus yang anehnya dunia itu mengalami dilema atau
anomali karen kekuatan pikir itu hebat ternyata, kekuatan matematika itu hebat
karena kekuatan pikir itu memproduksi resep-resep, rumus-rumus untuk digunakan,
dinaikkan itu menjadi postulat-postulat kehidupan, maka semua postulat kehidupan
yang tinggi yang absolut itulah Firman Tuhan, maka semua Firman Tuhan yang
tercantum dalam kitab suci itu adalah postulat-postulat merupakan resep-resep kalau
diturunkan ke bumi merupakan resep kehidupan, nah kekuatan pikiran karena
matematika terbebas oleh ruang dan waktu maka matematika bisa merekayasa
pikiran untuk mengkonstruksi konsep-konsep sebagai resep-resep kehidupan dan
hasilnya menakjubkan karena the power of mind itu, sehingga lahirlah peradaban,
jadi peradaban merupakan produk dari the power of mind atau kekuatan pikiran,
Cuma sayangnya kenapa semua orang tak terkecuali anak kecil harus mengikuti
derap langkah orang dewasa di dalam produk-produk pola pikir seperti itu, kan
itu kasihan”.
Pertanyaan
kedua dari Tyas Kartiko: “Bapak tadi bisa berbicara tentang filsafat karena Bapak
punya Tuhan dan percaya Tuhan kalau misalnya untuk orang atheis yang tidak
meiliki Tuhan itu seperti apa caranya mereka berfilsafat?”.
Jawaban
dari Pak Marsigit atas pertanyaan tersebut adalah: “Nah itulah filsafat itu adalah
dirimu, tidak usah jauh-jauh sampai Yunani, yang aku sebut ini tadi adalah yang
namanya absolut ketika aku sedang berdoa itu spiritualis, my behave is my spiritualism, tapi begitu ada pencuri saya akan
bersikap tegas, determind dan otoritarian, mengusir pencuri, jadi yang namanya
demokratis, romantis, pragmatis itu tidak lain tidak bukan adalah dirimu
sendiri, itu mikrokosmisnya. Kalau makrokosmisnya naik keatas pikiran para
filsuf, ada sejarahnya, ada tanggal lahirnya, dsb. Oleh karena filsafat itu
dirimu sendiri Cuma itu tadi karena filsafat itu peduli oleh ruang dan wktu
apalagi tujuan untuk memperoleh kebahagiaan itu melalui olah pikir maka
bersifat kontekstual, saya konstektual Indonesia, kontekstual Jawa, spiritualisme,
duniawi, supaya hidup berbahagia itu berchemistry dengan konteksnya, kalau anda
ingin menjauhi terisolated dengan konteksnya jelas berpotensi untuk tidak
berbahagia, anda tidak suka bertemu orang maka silahkan hidup digurun, oleh karena
itu konteks spiritualism itu strukturnya jelas, struktur yang saya kembangkan
disini yang paling bawah material, diatasnya formal, diatasnya normatif,
diatasnya spiritual. Spiritual itu jadi seperti mengerucut menutupi sekaligus
menjiwai berbagai pilar, itu spiritualnya. Maka didalam filsafat yang saya
kembangkan menggunakan struktur itu artinya tetapkanlah hatimu sebagai
komandanmu sebelum engkau mengembarakan pikiranmu karena jika engkau
mengembarakan pikiranmu dan tidak dilandasi oleh hati dan spiritualmu bisa-bisa
terjadi pikiranmu tidak akan kambali. Dilain tempat jelas, jangankan kita
berbeda, yang muslim filsafatnya muslim yang non muslim juga ada filsafatnya
sendiri, yang materialis semakin materialis, yang Yahudi semakin Yahudi, yang
majusi semakin majusi. Maka didunia itu berinteraksi antara berbagai suku
bangsa dan filsafatny masing-masing, manfaat dari berfilsafat adalah anda mampu
menjelaskan posisi anda secara spiritualis itu seperti apa, kalau di Amerika karena
negara absolut atau liberal itu bebas beragama, bebas tidak beragama dan
sama-sama punya hak, sama-sama bisa mengiklankan untuk mencari pengikut (mari
kita tidak usah percaya Tuhan, diiklankan di televisi dengan cara membayar) itu
adalah hak mereka, tapi di dalam koridor-koridor negara bernegara Republik Indonesia, mulai
dari akar rumputnya sampai naik kepada bentuk formal tata negara ada landasan
UUD 1945 dan Pancasila, landasan Pancasila itu monodualis, yaitu mono itu
Habuminallah, dualis itu Habuminallah dan Habuminannas. Itu filsafat Pancasila,
oleh karena itu walaupun terjadi rong-rongan tetap saja bertahan karena itu
konteksnya Indonesia chemistrynya Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan spiritualism,
siapa yang mau menolak spiritualism di Indonesia? Sejak jaman dulu punya
sejarahnya tentang spiritualism, apakah yang Islam, Budha, Kristen, Hindu, dll. Keadilan sosial, siapa yang tidak mau?
Peri kehidupannya selalu dihayati, itu yang namanya fondasi, untuk meletakkan
fondasi itu tidak mudah tapi sebetulnya mengakar pada budayanya Indonesia”.
Lalu Pak Marsigit bertanya apakah pertanyaan tadi
sudah terjawab oleh jawaban bapak, sebenarnya jawaban itu ada di postingan
bapak tentang arti hidup menurut kacamata filsafat, jadi itulah pentingnya
membaca postingan diblog bapak, karena aku berpacu dengan dirimu, jika aku
terangkan dipostingan sudah ada, jadi makna dari tulisan itu akan berkurang, karena
maknanya adalah dimaknai, dijiwai, dibangun dan dibaca secra mandiri.
Pertanyaan
terakhir dari Ian Harum Prasasti: “Bagaimana cara filsafat untuk menjawab suatu pertanyaan?”
Jawaban
dari Pak Marsigit adalah: “Jadi dunia itu berstruktur, anda jangan terlalu
ribet dan bingung memikirkan struktur, pagi dan sore itu struktur dunia, siang
dan malam, laki-laki dan perempuan itu juga struktur dunia, logika pengalaman
itu juga struktur dunia, kita abstraksi, abstraksi itu maksudnya kita pilih,
mana struktur-struktur yang dipakai untuk membangun di dalam perkuliahan ini,
strukturnya para filsuf, itu semua struktur dunia, jadi dunia ini penuh dengan
struktur, jadi secara filsafat jika ingin menjawab pertanyaan begitu anda
bertanya disuatu tempat dengan kesadaran
penuh struktur tadi maka pertanyaanmu itu terang benderang kedudukannnya
dilihat dari berbagai macam kedudukan struktur, apapun itu. Misalnya wadah itu
ada dimana? Tergantung strukturnya, bisa siang bisa malam, bisa laki-laki, bisa
perempuan. Kelembutan itu wadahnya perempuan, tapi kesigapan dan keperkasaan
itu wadahnya laki-laki, tapi dia perkasa tapi penakut, wadahnya perkasa, isinya
penakut, itu namanya kontradiksi. Pikiran pengalaman, wadah itu apakah ada
dipikiran atau di pengalaman? Ternyata wadah itu ada dimana-mana, semua yang engkau
katakan yang engkau sebutkan itu adalah wadah sekaligus isi. Kenapa isi, karena
setiap yang engkau sebutkan itu pasti mempunyai sifat, sekarang coba apakah
engkau bisa menyebutkan sesuatu yang tidak mempunyai sifat, misalkan merah, ada
merah hati, merah padam, merah darah. Merah hati ada merah hatinya laki-laki,
ada merah hatinya perempuan. Merah padamnya pagi, merah padamnya sore, bermilyar-milyar
sifat bisa diletakkan disitu. Apakah kamu bisa mencari sifat yang tidak punya
sifat? Maka sebenar-benarnya dunia ini penuh dengan sifat, maka sebenar-benarnya hidup adalah sifat itu
sendiri. Jadi aku bisa selalu berganti-ganti setiap hari untuk mendefinisikan
apa itu hidup, dari yang ada dan yang mungkin ada. Makanya saya selalu membuka
pertanyaan apapun itu, karena berfilsafat itu adalah menyadari adanya struktur,
ternyata kalau engkau aku beri pertanyaan, setiap pertanyaanku itu adalah
struktur, setiap sifat adalah wakil dari strukturnya, setiap kata adalah gunung
esnya dari setiap strukturnya itu, jadi pertanyaanku adalah struktur, kalau ada
50 pertanyaan berarti ada 50 struktur, kalau engkau tidak bisa menjawab semua,
berarti antara diriku dan dirimu terjadi adanya celah, engkau belum paham
struktur-struktur yang ada didalam pikiranku, maka baca, baca dan baca”.
Kemudian
Pak Marsigit meminta mahasiswa utk selalu membaca untuk mengimbangi nilai-niali
yang masih kurang. Pak Marsigit menutup kuliah dengan berdoa menurut keyakinan
masing-masing.
Wassalamu’alaikum,
Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar